Language Corner

Lingkungan Bahasa: Multilingual Dalam Madrasah.
(Dalam Kajian Sosiolinguistik) 

Agus Hariyanto, S.Ag, M.Pd (Guru Bahasa Asing MTsN Prigen Pasuruan)




Bahasan ‘lingkungan bahasa’ (language environment) atau (al-bi’ah al-lughawiyah) dalam aspek perolehan bahasa terbentuk dari peran suasana lingkungan bahasa pembelajar. Beberapa ahli bahasa seperti (John Watson, Skinner) kaum penganut teori Behaviorism (Annadhoriyah as-sulukiyah) menyatakan bahwa lingkungan mempunyai peran yang mendominasi dalam membantu proses pembelajaran bahasa, baik bahasa ibu, bahasa kedua, ketiga bahkan ke empat. Kecuali madzhabnya Noam Chomsky dengan teori Nativism (an-nadhoriyah al-fitriyah) yang menolak peran dominan dari stimulus-respon lingkungan dalam perolehan bahasa. Menurut Chomsky bahasa adalah diproduk secara generatif oleh fungsi kaidah akal manusia transformation generative (at-taulidiyah at-tahwiliyah) dalam alam pikiran manusia (fitriyah aqliyah). Menurut Chomsky dalam diri manusia sudah ada potensi kreatif sejak lahir, bukan semata-mata ‘tabularasa’ tanpa kekuatan apa-apa (dalam Ali Khouli, 1989 : 34-38). Perdebatan soal ini terjadi sejak sekitar 1957-an di kalangan ahli seperti F. de Saussure, Skinner, Bloomfild, Stern, Sapir, Krashen, Robert Lado,  dan sebagainya. Namun belakangan para ahli bahasa muslim mencoba muncul, seperti Al-Attas yang sependapat dengan Noam Chomsky bahwa manusia mempunyai kekuatan fitriyah aqliyah sebagai potensi bahasa sejak lahir, tetapi potensi itu juga menerima pengaruh dari luar yaitu dari lingkungan sosial di mana individu itu hidup.

Krashen seorang tokoh teori Monitor (teori kemampuan tata bahasa sebagai monitor dalam berbahasa) dalam hal perolehan bahasa, Krashen membagi lingkungan menjadi dua yaitu: lingkungan formal dan informal. Lingkungan formal bersifat artificial berupa suasana pembelajaran di sekolah (learning) yang prosesnya dilakukan dengan sadar. Dan lingkungan informal yang bersifat nature yang prosesnya tanpa sadar, artinya lingkungan pembelajar di luar lingkungan artificial lebih banyak mempengaruhi fitrah aqliyah lughawiyah (language acqusitian devise) seseorang di area bahasa masyarakatnya. (lihat Rukhan, 1990:20,108,111).Artinya lingkungan bahasa yang informal yang berjalan secara nature lebih banyak dan kuat pengaruhnya dalam membentuk kemampuan bahasa. Sedang lingkungan pengajaran (kelas dan sekolah) memiliki peran nomor berikutnya, tetapi pembelajaran tentang bahasa di sekolah akan memperkokoh pengetahuan sintaksis dan morfologis yang bermanfaat mengontrol secara tata bahasa bagi setiap ungkapan yang dituturkan.
Permasalahan bahwa pengajaran bahasa di sekolah (bahasa ke-2, ke-3) memiliki tingkat keberhasilan yang mempunyai ketergantungan dengan aspek-aspek pembelajaran. Seperti tujuan, prinsip, metode, motivasi dan fasilitas pendukung. Banyak yang harus berubah dalam model pengajaran bahasa jika menginginkan keberhasilan. Fokus pengajaran bahasa tidak semata mempelajari bahasa itu sendiri (‘ani al-lughah) tetapi bagaimana menggunakan bahasa itu dalam fungsi komunikasi (wadhifi at-ittisholiy) dengan empat ketrampilan (maharat) secara proporsional yaitu : istima’ (listening), kalam (speaking), qira’ah (reading) dan kitabah (writing).
Bentuk kongkrit dan simpel dari peran ‘suasana madrasah = lingkungan bahasa’ adalah aktivitas madrasah yang ‘disetting’ dalam bagaimana mengemas bahasa sesuai fungsi nya (ilmiah dan komunikasi) serta bagaimana membuat bahasa asing mewarnai yang prosesnya sederhana,  perlahan (gradually), berkebiasaan (habitually) dan terjadwal (scheduled) yang memiliki pengaruh terhadap kemampuan belajar individu siswa dan guru. Artinya tidak seluruh ucapan yang terlontar (speech) dari setiap anggota lingkungan harus dalam bahasa asing, tetapi ‘berawal’ dari proses komunikasi tertentu yang dijalankan secara perlahan (gradually) atau istilah Arabnya (tadrijiyan) dalam aktivitas di lingkungan itu, baik dalam suasana kelas atau lingkungan sekolah.
Banyak strategi menciptakan suasana berbahasa dalam lingkungan madrasah. Di antaranya menerapkan ‘code swicthing’ pada beberapa ungkapan atau kalimat bahasa asing dengan bahasa pertama (ibu) sebagai salah satu strategi dalam belajar berbahasa. Sifat automatically dari ‘code swicthing’ dalam proses belajar bahasa, akan mampu mempertajam pengungkapan buah pikiran lainnya ke dalam bahasa target, tetapi sering terjadi kasus inteferensi bahasa (at-tahawwul al-lughowy) dari bahasa ibu ke bahasa target (aksen, struktur, makna). Strategi alih kode ini perlu pengawalan teori tata bahasa (grammatical) yang kuat dan pengetahuan fonologi yang cukup. Di beberapa sekolah Korea juga dicobakan model alih kode dalam belajar bahasa asing (lihat Haesook Han Chung, Code Switching as a Communicative Strategy: A Case Study of Korean–English Bilinguals, Bilingual Research Journal, 30: 2 Summer 2006).
Guru (yang mengajar bahasa) memiliki peran penting dan tugas berat dalam hal ini, guru seharusnya mengajarkan berbahasa bukan semata-mata teori bahasa. Guru tidak perlu ahli bahasa. Ini sangat berbeda. Guru bahasa melaksanakan program pokok bahasan dengan topik tertentu. Ahli bahasa pekerjaannya menganalisa bahasa. Menurut  Bell (1987 :13) ada tiga aspek perbedaan. Pertama, ahli bahasa menjelaskan fenomena bahasa, sedang guru menuntaskan pelajaran ke anak didik. Kedua, ahli bahasa menggunakan metode abstrak sedang guru bahasa meggunakan metode fungsional. Ahli bahasa memandang bahasa adalah sistem rumit, sedang guru memandang bahasa adalah ketrampilan (dalam Peteda, 1991 :38-39).
Lalu, ada pertanyaan, mengapa guru bahasa atau guru yang memiliki minat (termotivasi) berbahasa asing tidak sekaligus dibekali ilmu bahasa yang lebih mendasar? sehingga mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang perolehan bahasa oleh manusia. next, dengan seperangkat pengetahuan tersebut, calon guru atau guru dapat menilai sebuah metode pengajaran bahasa dan bahkan menciptakan metodenya sendiri atas dasar teoretis yang lebih kokoh? Salah satu ilmu dasar yang sangat berkaitan dengan pembelajaran bahasa adalah ilmu perolehan bahasa (language acquisition), yang bersifat interdisipliner antara linguistik, psikologi, ilmu kognitif, dan neurologi. Prinsip pengajaran bahasa jika hal ini dipenuhi oleh sistem maka guru dengan bekal cukup akan lebih berperan, prinsip itu adalah : (i) Kelas kecil (maks 20 orang), (ii). Kemampuan pengelolaan kelas (metode, pendekatan dsb.) (iii).Lingkungan belajar yang mendukung (iv). Dukungan sarana (v). Profesionalitas guru (kedalaman materi dan ketrampilan berbahasa) (vi). Factor reward. (Baradja, 1990: 80)
       Prinsip item (iii) di atas, akan memiliki fungsi membantu proses perolehan bahasa bahasa asing (lughat ajnabiyah), jika dibentuk dan didesain secara sengaja yang memungkinkan bahasa yang diajarkan itu digunakan lebih komunikatif (sebagai bahasa interaksi). Di sinilah maksud lingkungan ‘bernuansa bahasa’. Dan perlu diingat juga adanya factor penghambat juga dapat memperlambat proses, seperti :kejenuhan, motivasi belajar, kemampuan aqliah IQ (adz-dzaka’), 
        Tipe kepribadian individu, besar kecilnya partisipasi s, faktor kepemimpinan, dsb. Di samping itu peranan guru dan para pengambil keputusan yang sangat dibutuhkan dalam mencari strategi dan solusi yang memfokuskan terciptanya iklim bahasa dalam lingkungan madrasah. Lingkungan madrasah yang bernuansa bahasa akan memberi kesempatan lebih banyak dan motivasi lebih positif dari lingkungan biasa (regular) bagi siswa dan guru untuk lebih kreatif dan legal dalam memacu 4 (empat) ketrampilan (al-maharat) berbahasa mereka (mendengar, berbicara, membaca dan menulis).
      Permasalahan di madrasah adalah komplek selain strategi pembelajaran ternyata sarana pendukung pembelajaran bahasa memiliki urgensi tinggi. Misalnya adanya lab bahasa yang kurang termanfaatkan, audio kelas yang 'layamutu wala yahya', program lain yang mendukung iklim berbahasa dan fangan lupa faktor 'bahan baku' para peserta didik yang umumnya di madarasah 'desa'/ 'barokahan' dari SMPN, memegang peran dalam laju prestasi dan jumlah penyedia mereka yang 'pinter'2  karena anak yang 'encer' yang mampu menyerap input bahasa-bahasa asing. Lalu?? ya terus berupaya menciptakan 'promo bahasa asing' tanpa meninggalkan bahasa nasional. (admin).